“Ayahku bilang, Ada sesuatu yang lebih berharga dari pada
harta, kebahagiaan dan segala-galanya. Dia bilang orang yang menyayangi
kitalah yang paling berharga. Tapi, akankah aku sebagai anaknya menjadi
yang paling berharga untuknya dari segala-galanya? Ku harap Ya.”
“Appa (ayah).. Appa.” Aku memanggil-manggil Ayahku yang tengah
memasak di dapur pagi ini dengan suara lemas dan mata yang masih sedikit
mengantuk. Aku menguap beberapa kali masih ingin tidur, lalu terduduk
di meja makan dengan pasrah.
“Kau belum mandi Hyun-Ae?” Dia menghampiriku sambil membawa Kimchi
(makanan khas korea yang bahan dasarnya sawi putih dan lobak di siram
saus pedas), emm yummy..
Tanpa ku hiraukan pertanyaan ayah, aku langsung ingin menyantap Kimchi ini.
“Aaaa..”
“Ehh, siapa yang mengajarkanmu jorok seperti itu. Mandi dulu baru kau
boleh makan!” Ujarnya sambil mengambil kembali piring yang diatasnya
diletakkan Kimchi.
“Appa..” Aku memelas tapi dia malah menggeleng. Ya sudah..
Ku berjalan lunglai menuju kamar mandi dengan bibir mengerucut. Peraturan di rumah ini sangat ketat. Huhh…
Ku mulai meraih handuk lalu masuk ke kamar mandi. Mulai ku buka bajuku
lalu nyalakan keran air. Ku basuh seluruh tubuhku. Rasanya cukup segar.
Pantas saja terasa segar, setelah inikan aku akan memakan Kimchi hahaha
***
“Appa, Palli (cepat) aku sudah tidak sabar dengan Kimchinya.” Aku
berteriak pada ayahku sambil duduk bersila di depan meja makan, aku
sudah bersiap-siap untuk memakan Kimchi buatan ayahku yang super
lezatnya. Sudah ku pegang sumpit di tangan kananku. Dan sudah ku siapkan
semangkuk nasi untukku juga ayah. Dan telah ku siapkan teh kesukaan
ayahku. Setiap sesudah makan, dia selalu meminum teh. Tak biasa.
Biasanya yang orang korea lakukan adalah meminum Soju (minuman
beralkohol distilasi dari beras). Tapi ayahku…
Aneh-aneh saja.
“Appa! Lama sekali.” Gerutuku memanggilnya lagi. Akupun memukul meja
dengan tanganku yang ku kepal lalu berjalan menuju dapur karena aku
tahu, ayah di sana. Ku lihat dia membelakangiku disana. Sepertinya dia
sedikit sibuk. Sedang apa?
“Appa?” Aku menepuk pundaknya. Sepertinya dia terkejut. Perlahan dia mulai melirik ke arahku dan ku lihat…
“Hahh?! Kau menghabiskan semua Kimchi itu?” Aku kaget melihat mulut ayah yang penuh dengan saus. Dia hanya tersenyum sedikit.
“Kau tega sekali. Aku sudah menyiapkan nasi dan teh untukmu. Aku ingin makan bersama.” Ujarku padanya sambil memukul pundaknya.
“Mianhae. Aku akan memasak lagi untukmu, oke.” Rayunya padaku. Aku masih tetap murung.
“Ayah akan buatkan Kimchi yang lebih banyak. Kamu duduk disana ya.”
Ucapnya lagi sambil merangkulku. Akupun tersenyum tipis. Yess… Aku
selalu bisa membuat ayah membayar dua kali lipat dari kekesalannya. Ayah
pasti akan melakukan apapun yang dia bisa untukku. Akukan satu-satu
anaknya dan satu-satunya yang dia punya. Berhubung Eommaku telah
meninggal sejak aku berusia 4 tahun, jadi sejak kecil aku tinggal
bersama ayah. Aku memang tidak ingat mengapa Eommaku meninggal, tapi
Appa bilang, dia meninggal karena sakit. Itu saja, dan aku percaya.
Terkadang jika aku menanyakan tentang Eommaku padanya, dia tak mau
menjawab dan malah mengajakku untuk bermain hal lain. Itu yang aku
herankan tentangnya.
“Kimchinya sudah datang.” Ucapnya membuyarkan lamunanku. Seketika aku
langsung tersenyum lebar pada ayah. Dia hanya duduk sila sambil
menatapku. Akupun langsung menyambar Kimchi itu lalu ku makan dengan
lahap, ya.
“Selamat makan.” Ujarku dengan mulut penuh. Mendengar itu, Appa hanya menggeleng-geleng sambil tertawa.
***
“Appa, ajarkan aku menari salsa.” Pintaku padanya. Selain pintar
memasak, Appa juga pintar menari Salsa. Dia juga pandai sekali bernyanyi
dan bermain gitar. Appaku memang Appa yang istimewa segalanya bisa.
“Sebelumnya, kau harus tahu gerakkan dasarnya. Appa ajarkan.” Diapun mulai berdiri. Aku ikut berdiri di sampingnya.
“Lihat Appa! Kiri, kanan, depan, belakang, putar. Kiri, kanan, depan,
belakang, putar. Ayo kau coba!” Perintahnya padaku. Akupun
mengangguk-angguk lalu mulai menyamai gerakan yang diajarkannya tadi.
“Baiklah. Kiri, kanan, depan, belakang, putar. Kiri, kanan, depan,
belakang putar.” Terus ku ulang-ulang gerakan itu bersama Appa berdua di
rumah. Aku dan Appaku memang sangat dekat. Setiap hari selalu ada hal
baru yang bisa mewarnai hari-hariku.
***
Sudah pukul 3 sore Appa belum pulang. Kemana dia? Tak seperti
biasanya Appa pulang terlambat seperti ini. Biasanya sebelum aku pulang
sekolahpun dia sudah pulang. Jika tidak pukul 1 pun sudah pulang.
“Anyyeong haseyo.” Tiba-tiba Appa datang dari balik pintu. Aku tak
mempedulikannya, aku tetap diam sambil manyun di kamarku. Aku
berpura-pura marah padanya agar Appa bisa membayar apa yang telah
dilakukannya. Hahaha

.
1 menit, 3 menit, 5 menit Appa tak datang juga. Biasanya dia pasti
buru-buru mencariku dan merayuku. Tapi, kenapa sekarang dia belum
menemuiku juga?
Perlahan ku keluar dari kamar. Mungkin saja dia mengerjaiku. Ku lirik
kanan dan kiri, namun tak ada orang disana. Perlahan ku berjalan menuju
kamar Appa. Dia pasti disana. Terlihat pintunya sedikit terbuka. Aku
mengendap-endap, mengintip dari balik pintu yang Appa lakukan. Aku mulai
melongo. Ku lihat dia sedang memegang selembar kertas. Entah apa
isinya. Diapun meraih ponselnya lalu menekan-nekan tombol. Dia mulai
menghubungi seseorang. Dapat ku tebak, pasti dikertas itu terpampang
nomor ponsel seseorang. Ya.
Terlihat Appa seperti bahagia dan tersenyum-senyum bercakap-cakap dengan
orang diseberang yang dia hubungi. Apakah itu pria atau wanita? Ahh…
“Appa?!” Aku mengejutkannya. Dia langsung melirik ke arahku lalu berpamitan dengan orang yang dia hubungi.
“Nanti ku hubungi lagi. Anyyeong.” Dia menutup teleponnya lalu tersenyum
padaku. Aku membalas senyuman Appa dengan murung. Aku tak
menghiraukannya lalu pergi keluar kamar Appa.
“Park Hyun-Ae. Kau marah pada Appamu?” Tanyanya padaku. Aku hanya diam lalu duduk dengan murung.
“Aku marah. Appa datang terlambat. Kemana saja kau tadi? Bukankah Appa
harusnya pulang pukul 1?” Ujarku padanya. Dia hanya terduduk di depanku.
“Mianhe, Appa sangat sibuk. Sekarangpun Appa harus pergi keluar terlebih dahulu.” Gumamnya. Aku hanya tetap murung.
“Pergi? Ada urusan apa di luar? Bukankah kau bekerja sebagai koki hanya
sampai pukul 1 siang?” Gerutuku padanya. Dia hanya terdiam. Diapun pergi
meraih jaket lalu membuka pintu menuju keluar. Sebelum keluar dia
mengingatkanku.
“Jika kau lapar, Appa sudah membuatkan Kimchi untukmu. Appa mungkin akan
pulang malam.” Ucapnya. Aku hanya tetap di posisi awal. Kenapa dia
seperti ini?
***
“Molla (Aku tak tahu) Goo-Hyung, hampir satu minggu ini dia selalu
pergi dan pulang malam. Apakah dia mengalami masa pubertas ke dua?
Umurnya 38 tahun. Apakah itu akan terjadi?” Tanyaku pada Goo-Hyung,
sahabatku. Dialah satu-satunya teman yang selalu setia untukku.
“Mungkin saja. Bisa jadi hal itu terjadi. Ngomong-ngomong, kau bisa
punya Eomma baru bukan?” Ujarnya. Aku terdiam, aku tak pernah mau
mempunyai Eomma lagi setelah Eomma kandungku. Aku lebih memilih tinggal
berdua saja dengan Appa.
“Shireo (Tak mau), cukup dengan Appa saja aku tinggal. “Gumamku. Dia hanya terdiam sambil meneguk Soju di gelas kecilnya.
“Waeyo begitu? Bukankah kau ingin sekali mempunyai Eomma?” Tanyanya
heran padaku. Aku hanya terdiam. Perlahan ku teguk Soju yang ada di
depanku.
“Dulu aku ingin sekali. Sekarang aku tak pernah ingin. “Gumamku lagi. Goo-Hyung terdiam. Suasana di rumahku hening seketika.
“Srettt” Tiba-tiba pintu bergeser. Appa sepertinya pulang.
“Anyyeong Haseyo Hyun-Ae. Oh Hy, Goo-Hyung, kau ada disini.” Appa tersenyum pada Goo-Hyung. Sementara aku diam.
“Anyyeong haseyo tuan Il-Jung.” Sapanya balik.
“Hyun-Ae, kenapa kau murung terus?” Dia bertanya padaku. Namun aku tetap
diam tak bergeming. Tanpa basa-basi, aku langsung menarik tangan
Goo-Hyung menuju kamarku. Kali ini aku benar-benar marah pada Appa. Dia
sekarang tak peduli denganku lagi.
“Mengapa kau begitu Hyun-Ae? Diakan Appamu!” Gumam Goo-Hyung. Aku hanya diam dan duduk, aku sedang membencinya hari ini. Benci.
“Hyun-Ae, mungkin benar Appamu banyak urusan.” Gumamnya lagi. Aku tetap diam. Aku mara , marah dan marah.
“Hyun-Ae.” Desah Goo-Hyung. Akupun meliriknya.
“Aku pulang dulu. Kau marah terus. Anyyeong (Selamat tinggal).” Diapun
pergi keluar dari ruangan yang tak luas ini. Kamarku. Dapatku dengar dia
berpamitan pada Appa. Tak lama, Appa masuk ke kamarku.
“Hyun-Ae, kau kenapa? Kau marah pada Appa?” Dia bergumam namun seperti biasa yang ku lakukan. Diam.
“Hyun-Ae kau jadi sangat sensitif, kau kenapa?”
“Jangan peduli denganku. Appa hanya memikirkan urusan Appa sendiri.
Tidak pernah peduli aku.” Aku menggerutu padanya. Dia hanya terdiam.
Lalu dia merogoh sakunya dan mengeluarkan benda yang berkilau. Apakah
iyu kalung?
“Selamat Ulang Tahun yang ke-16 Hyun-Ae.” Dia meninggalkan kalung itu lalu pergi keluar. Hari Ulang tahunku?
Aigo (Astaga), dia ingat. Aku saja tak ingat.
“Appa!” Aku memanggilnya.
“Ada apa Hyun-Ae?” Akupun berlari ke arahnya lalu memeluk Appaku erat-erat.
“Gamsahamnida, Appa (Terimakasih Ayah). Mianhae (Maafkan aku).
***
“Appa? Sedang apa disini?” Aku terkejut melihat Appa yang tengah
berpegangan tanga dengan wanita yang tak tahu siapa. Apakah dia pacar
baru Appa?
“Hyun-Ae, kau disini? Baru saja Appa akan memperkenalkannya padamu.
Kenalkan ini Son Nam-Bi. Appa berniat menikahinya.” BIsik Appa
ditelingaku. Saat itu juga aku tercengang mendengar perkataan Appa. Aku
tak mau wanita manapun menggantikan Eomma. Aku tak mau.
Saat itu juga, aku tak dapat membendung air mataku. Aku benar-benar
kecewa pada Appa. Aku menatap Appa yang sedang tersenyum ke arahku.
Namun aku hanya memalingkan wajahku dan berlari pergi. Pergi.
Saat itu Appa heran dengan yang ku lakukan, namun sepertinya dia
mengejarku. Aku tak peduli. Aku terus berlari dan berlari. Sampai aku
telah di depan rumah, aku langsung berlari ke kamar dan mengunci pintu
kamarku. Aku terduduk dibalik pintu sambil menangis.
“Appa tega berpaling dari Eomma.” Rintihku. Sesaat ku dengar pintu diketuk. Aku tak mempedulikannya.
“Hyun-Ae, buka pintunya. Appa minta maaf. Hyun-Ae” Appa terus mengetuk-ngetuk pntu.
“Tega sekali Appa berpaling dari Eomma. Aku tak ingin punya Eomma lagi. Kau tak sayang pada Eomma?”
“Bukan seperti itu Hyun-Ae, Appa ingin kau tak kesepian.” Ujarya.
“Aku tak kesepian seperti ini juga. Pantas saja Appa selalu pulang malam
dan terlambat. Itu karena kau pergi kencan dengannya bukan?” Gumamku.
Saat itu juga Appa hanya diam. Berarti Ya jawabannya.
“Aku sudah tahu. Sekarang aku tak berharga lagi untukmu!” Gumamku lagi.
“Bukan begitu. Kau harus tahu saja sesuatu Hyun-Ae!”
“Mwoeyyo?”
“Ada sesuatu yang lebih berharga dari pada harta, kebahagiaan dan
segala-galanya. Orang yang menyayangi kitalah yang paling berharga bagi
Appa. Ku harap kau menyayangi Appa.” Ujarnya,
“Ani (Tidak), dulu aku menyayangimu. Sekarang tidak, aku membencimu. Oh
ya, kalung itu. Kalungnya sangat unik. Aku tidak percaya jika Appa yang
memilihnya untukku. Pasti diakan. Yeoja itu!” Ucapku padanya.
“Asal kau tahu, yang Appa inginkan hanyalah membuatmu bahagia. Appa
hanya punya kau Hyun-Ae.” Gumamnya. Aku hanya terdiam. Dan setelah itu,
aku tak mendengarnya lagi.
***
“Kringgg… Kringg..” Terdengar suara jam beeker Appa. Dia mulai
mematikan jam itu lalu pergi mandi. Aku dapat mendengar jelas suara
keran air dibuka. Jelas. Aku berniat tidur kembali karena hari masih
pagi. Aku tahu setiap hari Appa bangun rutin seperti ini.
***
“Jeongmal?” Aku terkejut mendengar Yeoja kemarin yang bersama Appa
menangis mendapat kabar bahwa restoran tempat Appa kerja terbakar. Dan
di tempat itu Appa meninggal. Mendengar itu, aku langsung lemas dan tak
mampu menahan bendungan air mataku. Aku benar-benar ingat bahwa kemarin
Appa merintih padaku dibalik pintu. Aku merasa bersalah sekali pada
Appa. Aku bilang, aku membencinya kemarin, namun bagaimanapun juga, Aku
mencintainya. Aku sayang padanya. Sesal ku mengucapkan kata itu. Yeoja
yang di panggil Nam-Bi ini hanya menangis menatapku tak kuasa menahan
segalanya.
***
“Kringgg…. Kringgg… Kringg…” Jam itu berdering berkali-kali.
“Appa.. matikan jamnya. Appa…” Aku mulai kesal jam itu tak henti-henti.
Akupun berniat untuk mematikannya. Ku buka pintu kamar Appa dan…
Lenggang.. tak ada Appa. Aku menangis sejadi-jadinya mengingat Appa yang
baru saja meninggal. Hidupku selalu bergantung padanya. Kini siapa yang
akan mengurusku? Aku hanya akan sendrian disini. Menjadi seoramg yatim
piatu.
“Appa, mianhae, saranghae appa…” Namun apa yang ku dapat? Bagaimanapun
aku tak akan dapat apa-apa. Sekarang tinggal aku sebatang kara dengan
penuh penyesalan pada semua yang ku lakukan.
“Mianhae Appa.”
Cerpen Karangan: Selmi Fiqhi